Seorang ibu mengerti apa yang anaknya hadapi, meski tak mengalaminya sendiri. Ada insting yang lebih kuat dari baja yang ditempa. Ada jiwa yang tiap detiknya hidup demi kita.
Ibunda ini tak
dimaksudkan
untuk memberitahu
beliau apa yang kita
rasakan. Besar
kemungkinan, beliau mengerti yang selama ini kita pendam.
demi mengurai isi
kepala kita sendiri. Demi mengurangi rindu yang ada di dada kita.
Halo Ma,
Apa kabar?
Ah, rasanya ganjil
sekali melontarkan itu. Kita satu rumah, namun jarang kutanyakan kabarmu.
Anak macam apa aku
ini. Makanan yang
kau sediakan di
atas meja tak lantas
membuatku peduli
kabarmu saban hari. Maaf ya,
Ma.
Mungkin kita
jarang berbicara. Saat membuka mulut pun, hanya adu argumen yang ada. Rasanya
susah sekali menahan diri. Apapun yang ada di kepala, aku lontarkan semua.
Begitu
terucapkan, aku
hanya bisa menyesal.
Mama mungkin sudah
biasa. Menghadapi ego dan kesoktahuan anaknya. Dari dulu, pikirmu. Tidak
apa-apa. Engkau tersenyum, dan tersenyum saja.
Mamaku yang
cantik,
Apa aku boleh
bertanya? Bagaimana bentukku saat aku keluar dari rahimmu? Aku penasaran, Ma.
Hanya bisa kubayangkan sakitnya. Dari situ
pikiranku
melanglang: ketika 9 bulan
membawaku, hal-hal
ganjil apa saja yang kulakukan terhadapmu? Bagaimana perasaanmu ketika tahu
rasa sakitmu sebagai ibu tak hanya kau derita saat melahirkan saja?Dari situ
aku bisa mengerti, betapa sabar dirimu selama ini.
Tapi harus kuakui.
Kadang memang aku heran pada sikapmu. Mama pernah marah-marah ketika aku main
ke rumah teman sampai jam 10 malam. Mama sibuk meneleponku untuk pulang,
padahal aku sudah
bilang berkali-kali bahwa aku aman.
Aku tahu Mama
takut terjadi apa-apa denganku di jalan. Tapi tenanglah, Ma. Aku pasti bisa
menjaga diri. Bukankah Mama sendiri yang mengajarkan aku untuk berani? Mungkin
memang sulit Mama percayai, tapi aku sekarang
sudah besar. Sudah
tahu bagaimana melindungi diriku sendiri di jalan. Mama ingat pernah menasihati
supaya aku pandai berteman? Nah, kini aku punya teman-teman yang bisa
kuandalkan ketika aku pulang terlalu malam.
Ma, sebenarnya ada
banyak hal yang ingin kusampaikan. Tapi aku terlalu malu untuk mengatakannya
langsung. Aku takut melihatmu menangis. Aku tidak tahan melihat air matamu
keluar. Apalagi ketika aku harus pergi ke tempat yang jauh dari rumah.
Saat aku hendak
berkelana sementara, Mama membuktikan perhatian dengan mempersiapkan barang
bawaan untukku. Sayangnya, terkadang aku sendiri bingung barang-barang itu
harus aku apakan.
“Ini mama siapin
selimut. Bawa ya!”
“Aduh, ntar beli
aja di sana. Berat tauk ma!”
Aku masih ingat
itu. Aku menolak barang-barang yang sudah kau siapkan untukku. Hanya ketika mau
berangkat, aku mengangkutnya ke bagasi. Dengan berat hati, dan separuh
mencak-mencak tak mengerti.
Namun saat jauh,
aku rindu padamu.Ah…
Untunglah ada
barang-barang ini. Kupeluk saja selimut yang Mama siapkan. Aku tidak jadi
kedinginan.
Ma,
Bolehkah aku
bertanya tentang impianmu saat muda dulu? Ketika umur 5, 10, atau seumurku,
cita-cita apa yang sebenarnya Mama gantungkan? Dokterkah, layaknya anak-anak
pada umumnya? Atau malah Mama punya cita-cita yang lebih unik, seperti
fotografer dan penulis buku?
Maaf ya Ma,
gara-gara aku, Mama harus berhenti mengejar impian masa kecil Mama. Karena
keberadaanku, Mama harus rela mengambil apapun kesempatan berkarya yang ada,
dan
bekerja 2 kali
lebih keras dari seharusnya.
Ya,
Aku melihatmu
sebagai seorang pekerja keras. Bahkan tugas-tugas rumahan sebenarnya menyedot
banyak tenaga dan waktu luang. Pagi-pagi sekali, Mama harus bangun untuk
memasak sarapan. Selanjutnya, Mama harus menyiapkan
peralatan
sekolahku. Mama harus mengantarku ke sekolah, berbelanja agar di rumah ada yang
bisa dimakan.,,
Kadang, kalau aku
sedang rajin aku akan
berusaha
membantumu semampuku. Tapi Mama pun tidak selalu memperbolehkanku membantu.
“Sudah belajar, belum?” tanyamu.
Iya, Mama banyak
bertanya. Pertanyaan Mama pun sebenarnya selalu sama: “Sudah makan belum?”,
“Sudah sholat?” Kalau aku menjawab “belum”, nada bicaramu langsung berubah dan
sifat cerewetmu mulai keluar. “Ah, Mama ngoceh terus! Kalau belum sempat gimana
dong, Ma?” Hanya itu jawaban yang keluar dari mulutku. Pusing rasanya mendengar
ocehan Mama. Mama tidak tahu ‘kan, saat Mama menelepon aku sengaja menjauhkan
ponselku dari telinga karena bosan mendengar ocehan Mama? Maaf ya, Ma.
Di saat aku jauh
dari rumah, banyak hal yang aku lakukan tanpa sepengetahuan Mama. Ada beberapa
hal yang kutahu tak boleh aku langgar, namun tetap aku lakukan. Harus kuakui,
ketika melakukannya, aku terhibur dan sedikit bangga.
Aku jahat ya, Ma?
Aku anak pembohong. Mama masih mau menyayangi anak pembohong sepertiku?
Ma,
Tahukah kalau aku
sangat takut untuk
memperkenalkan
calon menantumu? Aku takut Mama tidak setuju dengan pilihan hidupku. Takut Mama
kecewa jika nantinya aku gagal dalam pernikahanku. Tidak ada rasanya yang lebih
mengintimidasi dari ucapan “Ma, kenalin: ini calon menantu Mama.”
Senyummu
membuyarkan kegelisahanku.
“Kamu senang sama
dia? Sudah yakin? Yang penting itu kebahagiaanmu sendiri.”
Ma, wajahmu mulai
menua. Mulai ada keriput disana, membuatku sadar ragamu tidak sekuat dulu.
Penyakit mulai mengerogoti tubuhmu. Aku
pun pernah harus
melihatmu terbaring di atas tempat tidur. Tapi kau malah tetap tersenyum dan
menanyakan apa aku sudah makan.
(Ma, tenang! Aku
sudah makan!)
Izinkan aku
mengatakan sesuatu yang belum sempat kusampaikan langsung. Aku tidak tahu kapan
kita akan berpisah. Ada saatnya, aku akan
mengantarkanmu ke
tempat peristirahatan terakhirmu. Atau mungkin saja Mama yang
mengantarkanku.
Apapun akhirnya, akan ada saat dimana kita berdua harus rela. Kapanpun itu,
hanya Yang Disana yang tahu. Aku hanya ingin mengingat bahwa kita pasti kembali
bertemu.
Mama, Ibu,
Ibundaku…
Terima kasih sudah
memutuskan memilikiku. Terima kasih sudah memperkenalkanku pada dunia. Terima
kasih sudah mengajarkanku apa
arti perjuangan.
Maafkan anakmu ini:
yang selalu membuatmu was-was, yang selalu bertindak semrawut, yang tak cukup
sering menyapu rumah…ah!
Aku hanya bisa
berharap untuk terus bisa memberikan yang lebih baik lagi untukmu. Secerewet
apa pun dirimu, Mama tetap wanita nomor satu bagiku.
Aku tidak bisa
memilih siapa yang menjadi ibuku. Mama pun tak tahu anak seperti apa yang
akhirnya lahir dari rahim Mama. Tuhan yang mempertemukan kita.
Aku bersyukur bisa
berkenalan dengan Mama. Tersenyumlah, Ma,
Penggemar beratmu
nomor satu,
Anakmu.
Emoticon